Membangun Kepemimpinan Pemuda Luar Negeri

Oleh: Pan Mohamad Faiz *

Sumber: Harian Umum Seputar Indonesia (30/11/07), http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini-sore/membangun-kepemimpinan-pemuda-luar-negeri-3.html

Sebagai aktor sosial perubahan, pemuda bukan saja menyandang status sebagai pemimpin masa depan, tetapi juga sebagai tulang punggung bangsa dalam mengisi pembangunan. Hal ini sejalan dengan tema peringatan Hari Pemuda Internasional 2007 yaitu ”Youth Participation for Development”.

Pada tahun 1928, para pemuda Indonesia dari beragam latar belakang suku, agama dan bahasa membulatkan tekad demi menggalang persatuan bangsa guna berjuang melawan penindasan kaum kolonialis. Sejak saat itu pula, setiap tanggal 28 Oktober kita memperingati Hari Sumpah Pemuda.

Manifesto yang tertanam sejak 79 tahun yang lalu ini telah berulang kali memberikan andil besar terhadap arah dan semangat pergerakan pemuda dalam menyelamatkan Indonesia dari jurang kehancuran. Oleh sebab itu, goresan sejarah Indonesia tidak akan pernah luput dari lembaran sejarah kepemudaanya (Benedict Anderson, 1990).

Dalam tulisan berikut, penulis mengajak untuk melakukan refleksi sejenak terhadap signifikansi dan peran pemuda yang selama ini sangat jarang disoroti dan digarap secara serius oleh banyak pihak, yaitu terhadap aset intelektual muda yang terserak di luar negeri.

Berbeda dengan masa pra kemerdekaan, para pemuda Indonesia kini telah tersebar di lima benua dan puluhan negara yang terbentang dari timur-barat hingga utara-selatan dunia. Walaupun belum terdapat data empirik terhadap penyebarannya, berdasarkan hasil penelusuran penulis, setidaknya saat ini terdapat lebih dari 20.000 pemuda dan mahasiswa Indonesia di Australia, 26.000 di Malaysia, 5.000 di Mesir, 1.500 di Jepang, 13.000 di Amerika Serikat, 3.000 di Inggris, dan puluhan ribu lainnya di berbagai negara Eropa dan Afrika.

Namun disayangkan, angka yang sangat menjanjikan ini belum dapat teroptimalkan dalam rangka mendukung pembangunan bangsa yang berkelanjutan.

Kepemimpinan Internasional

Corak pergerakan pemuda setelah tahun 1928, khususnya pasca kemerdekaan, mempunyai tantangan yang berbeda dengan pergerakan yang diusung sebelum tahun 1928. Pergerakan pemuda pada era globalisasi ini menghadapi tantangan yang justru semakin kompleks.

Selain perjuangan untuk memberangus KKN dan menegakkan nilai-nilai demokrasi serta HAM, tidak kalah pentingnya yaitu menggalang kekuatan guna menghadapi persaingan ekonomi global, destruksi budaya dan moral generasi, intervensi kedaulatan bangsa, serta reposisi Indonesia di tengah-tengah realitas ekonomi dan politik internasional. Tantangan seperti tersebut diakhir inilah yang belum menjadi isu stategis dari kebanyakan gerakan pemuda di tingkat nasional.

Walaupun tantangan yang dihadapi oleh pergerakan pemuda di kedua zaman tersebut berbeda, akan tetapi berdasarkan sifatnya dapat kita tarik satu benang merah yang sama. Tantangan global seperti perdagangan bebas dan hadirnya organisasi keuangan internasional merupakan alat yang dapat mengusik kedaulatan bangsa yang berujung pada neo-colonialism.

Oleh karenanya, meskipun tampak berbeda, namun apa yang sedang kita hadapi saat ini masihlah ”musuh” yang sama, yaitu penjajahan.Dengan ketersediaan akses dan sumber informasi yang tidak terbatas, pemuda Indonesia di luar negeri sudah seyogyanya mengambil peran signifikan dengan menggalang kepemimpinan internasional guna menghadapi berbagai tantangan di atas.

Sebagai kaum intelektual, sudah seharusnya transfer informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan melalui berbagai bentuk dan cara bagi mereka yang berada di Indonesia. Hal ini sama halnya dengan apa yang telah dilakukan oleh para intelektual pendahulu kita yang menempuh pendidikan di Belanda pada masa pra kemerdekaan, bersama Moh. Hatta  mereka mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia dengan tujuan membangun basis pendidikan ilmu pengetahuan kepada segenap rakyat Indonesia (Nicholas Tarling, 1999).

Setiap pemuda Indonesia di manapun ia berada harus mampu menjadi duta bangsa pada setiap aspek diplomasi kehidupan, baik itu di bidang politik, ekonomi, pendidikan, ataupun budaya. Lebih dari itu, setiap pemuda Indonesia juga harus dapat merevitalisasi peran dan fungsinya sebagai bagian dari global village guna menghimpun terbentuknya soft power guna meningkatkan reputasi dan posisi tawar Indonesia di mata dunia sebagaimana telah dinikmati hasilnya oleh Cina, India, dan Brazil.

Relevansi Sumpah Pemuda

Hal utama yang dibutuhkan untuk membangun kekuatan pemuda di tingkat internasional adalah kesatuan. Tanpa adanya kesatuan, dalam konsep Antonio Gramsci, perjuangan menghadapi tantangan terkini akan kandas diterpa gelombang hegemoni negara-negara besar. Proses terjadinya Sumpah Pemuda sangatlah relevan untuk dapat kita gunakan sebagai cermin pembentukan kepemimpinan internasional pemuda Indonesia di masa yang akan datang.

Pertama, para pemuda dan pelajar Indonesia baik yang bersifat perorangan maupun yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) atau organisasi sejenis lainnya dalam satu kawasan dunia yang sama, dapat mengikatkan dirinya dalam satu jejaring koordinasi awal untuk tahapan konsolidasi. Hingga saat ini, baru beberapa kawasan saja yang memiliki jaringan koordinasi demikian, di antaranya yaitu Jejaring PPI se-Eropa, Badan Koordinasi PPI se-Timur Tengah dan sekitarnya, serta PPI Australia.

Kedua, jika telah terbentuk jejaring koordinasi awal di masing-masing kawasan, maka menyatukan seluruh jejaring kawasan yang ada guna pembentukan kepemimpinan pemuda internasional bukanlah suatu hal yang mustahil. Sebagai contoh, hampir setiap tahunnya negara Perancis mengadakan Temu Pemuda Internasional secara resmi (Rencontres Internationales de Jeunes) guna membahas arah dan kontribusi pergerakan mahasiswanya yang tengah berada di seluruh penjuru belahan dunia.

Ketiga, guna menyamakan arah dan gerakan pemuda Indonesia, maka koordinasi dan komunikasi yang intensif harus selalu dilakukan antara pemuda di dalam dan di luar negeri. Tanpa adanya koordinasi dan kerjasama yang harmonis, maka kekuatan pemuda Indonesia tidak akan terlalu berarti baik pada level nasional maupun internasional.

Keempat, dengan begitu besarnya aset pemuda di luar negeri, Pemerintah sudah sebaiknya memfasilitasi dan memberikan dukungan penuh demi terciptanya kepemimpinan pemuda luar negeri dengan sistem koordinasi triumvirat yang melibatkan Departemen Pemuda dan Olah Raga, Departemen Luar Negeri, dan Departemen Pendidikan Nasional.

Tahun 2008 mendatang merupakan waktu yang sangat tepat untuk mencanangkan Kepemimpinan Pemuda Luar Negeri sekaligus menancapkan gelombang keenam Kebangkitan Indonesia. Pasalnya, selain akan memasuki usia ke-80 untuk peringatan Sumpah Pemuda, pada saat yang bersamaan bangsa Indonesia juga akan memperingati 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional.

Apakah ini sebuah mimipi? Iya. Apakah ini mimpi yang tidak mungkin terjadi? Tidak, ini adalah mimpi yang sangat mungkin terwujud. Martin Luther pernah mengatakan, ”I have a dream today. I have a dream…”. Kemudian, berkat perjuangan dan komitmen bersama, akhirnya mimpi tersebut berhasil ia raih.

* Pan Mohamad Faiz adalah Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia se-India (PPI-India) 2007/2008, salah satu pendeklarator berdirinya Overseas Indonesian Student Association Alliance (OISAA).

Keterangan Foto: PPI India, PPMI Mesir, PPI Australia, dan Perwakilan Mahasiswa Indonesia dari Jepang dan UGM befoto bersama dalam pembahasan pembentukan OISAA.

Constitution or holy book?

Source: The Jakarta Post, Opinion News – Thursday, November 01, 2007

Pan Mohamad Faiz, New Delhi

One of the important developments in our constitutional structure was the establishment of the Constitutional Court as a response to the demand for a strengthening of the checks and balances in the system of state administration.

The improvement in the constitutional situation post the amendment has been very fast. Recently, Indonesian society entered a new stage of constitutional practice as regards the fight for the basic right of freedom of religion.

This basic right is clearly stated in Article 28B(1), Article 28I(1), and Article 29 of the Constitution, as well as in international human rights instruments, particularly Article 18 of the Universal Declaration of Human Rights (UDHR) and Article 18 of the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Until today, the main problems regarding the protection of freedom of religion have never entered the arena of constitutional review. The Constitutional Court’s decision No. 12/PUU-V/2007 on the Marriage Law, especially the articles on polygamy, has opened the gate to constitutional activism for the protection of freedom of religion as a fundamental right of every Indonesian citizen.

A constitution as the supreme law of the land sets out the basic structure of the governmental system in every nation. The constitution of every country, however, has different characteristics that can influence the form of the state. As regards the freedom of religion, we often hear about the different concepts of a religious state, secular state and other types of state.

The 46th amendment of Indian Constitution, which added the word “secular” to its Preamble, shows that India is a secular state that places special emphasis on the values of freedom of religion and tolerance.

The First Amendment to the American Constitution guarantees freedom of religion for each of its citizen, but it doesn’t afford the opportunity to the legislature to make laws governing religious practice.

In their research on the relationship between constitutions and freedom of religion, Tad Stahnke and Robert C. Blitt (2005) divides the countries that have majority Muslim populations into four categories.

First, countries that openly declare themselves to be Islamic states.

Second, countries that have officially adopted Islam as the official religion of the state.

Third, countries that declare themselves to be secular states.

Fourth, countries that make no such declarations in their constitutions. Indonesia belongs to this category.

If Indonesia belongs to the last category, then the question arises as to what is the real concept of the state that was created by our founding fathers?

From the constitutional perspective Indonesia is a “Pancasila State”. This means that it is neither a confessional state nor a secular state. A confessional state can only be based on a particular religion, while a secular state prevents religion from interfering with state affairs. Moreover, the Pancasila State is a religious nation state that protects and facilitates the development of all religions adhered to by the people without any differences in treatment arising from the number of a religion’s adherents.

In this context, it is essential that the State has a constitutional obligation to protect the freedom of religion of each of its citizens. Quoting the association is used by Jimly Asshiddiqie, when the Constitution is held in one of our hands, the holy book must be held in the other hand. This means that these two things have to work in harmony and that one cannot contradict the other.

Using the comparative studies approach, Indonesia is one of the countries that lacks experience as regards the protection of freedom of religion through the constitutional review mechanism. In fact, this mechanism is an important tool in other countries when the freedom of religion finds itself under attack by state action.

In some countries, such as India, the United States and Germany, constitutional review on the ground of freedom of religion is common practice. For instance, the case of Mudghal v. India (1995), which involved the proposed unification of laws as a result of the growing practice of polygamy in India, or the case of Wels v. United States (1970) on a person’s right to refuse to serve in a war because it is against his beliefs.

Another interesting case came before the Federal Constitutional Court of Germany (Bundesverfassungsgericht). This was the “traditional slaughter case” (BvR 1783/99, 2002). in which the court accepted a constitutional review petition on the methods of slaughter permitted under the Animal Protection Act. Several provisions of this Act, according to the petitioner, were contrary to the tenets of his religion.

Unfortunately, constitutional review in Indonesia is confined to the review of laws.

Consequently, all the government actions, regulations and court decisions that are believed to violate the provisions on freedom of religion contained in the Constitution cannot be reviewed comprehensively by the Constitutional Court.

This means that the Indonesian constitutional system and its practice need to be developed more seriously. Due to the lack of constitutional protection mechanisms, there are currently huge obstacles in the way of citizens seeking to affirm their basic and intrinsic rights to freedom of religion.

The writer is a postgraduate student on Comparative Constitutional Law at the University of Delhi. He can be reached on http://faizlawjournal.blogspot.com.

Keterangan Foto: Anggota PPI India sedang membaca ayat suci Al-Qur’an dalam rangka peringatan Nuzulul Qur’an di KBRI New Delhi.