Polemik Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan

Oleh: Pan Mohamad Faiz* 

Dimuat pada: SINDO (5/5) (click).

Hitam-putih potret pendidikan Indonesia kembali mewarnai momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional. Berbagai peristiwa nonpekerti seperti misalnya kecurangan UN oleh para tenaga pendidik bak awan pekat yang menyelimuti pendidikan bangsa ini.  

Di lain pihak, berbagai prestasi gemilang mampu diukir putra-putri terbaik Indonesia di pentas internasional. Sebutlah, salah satunya aksi mahasiswi Indonesia yang mampu merebut the best oralist peradilan semu internasional. Berangkat dari hal tersebut, maka dapat kita katakan bahwa kualitas SDM Indonesia tidaklah seburuk apa yang kita bayangkan. Lalu di manakah sesungguhnya letak kesalahan yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita selama ini?  

Diyakini oleh berbagai kalangan, salah satu akar permasalahan ini terjadi dikarenakan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk memosisikan sektor pendidikan sebagai prioritas yang utama. Selain dalam hal lemahnya manajemen pengelolaan, rendahnya anggaran pendidikan seringkali menjadi batu ganjalan yang amat dirasakan banyak pihak. Kewajiban konstitusi (constitutional obligation) pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belum dipenuhi hingga saat ini.  

Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi yang diucapkan tanggal 1 Mei lalu dengan menyatakan bahwa pengalokasian anggaran pendidikan oleh pemerintah sebesar 11,8% sebagai batas tertinggi bertentangan dengan UUD, merupakan ”kado istimewa” di suasana hari pendidikan nasional. Namun, hal tersebut akanlah menjadi sekadar ”kartu ucapan”kosong tatkala pemerintah mengulangi kembali pelanggaran konstitusional di masa yang akan datang.  

Pasalnya, inilah putusan ketiga yang pernah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan tidak dipenuhinya 20% anggaran pendidikan. Dua buah ”kartu kuning” yang telah dikeluarkan sebelumnya rupanya tidak mampu juga menggetarkan kemauan politik para penentu kebijakan di negara ini. Pemerintah seakanakan selalu berlindung di balik kelemahan putusan yang tidak mempunyai sanksi hukum tegas bila tidak dilaksanakan (lex imperpecta).  

Selain tidak dipatuhinya dua kali putusan Mahkamah Konstitusi, lemahnya komitmen ditunjukan pula dengan terjadinya perubahan skenario anggaran secara sepihak terhadap kesepakatan yang pernah dibuat antara Pemerintah dan komisi Komisi X DPR RI. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh DPD RI berdasarkan Keputusan No. 26/DPD/ 2006 agar pemerintah berupaya menggunakan sisa anggaran tahun lalu sebesar Rp57 triliun untuk anggaran pendidikan tidak juga direspons dengan cukup baik.  

Begitu pula dengan surat khusus yang disampaikan oleh Sekjen Education International (EI) Fred van Leuwen, kepada Presiden yang sengaja ”menyentil” kebijakan pemerintah dengan membandingkan anggaran pendidikan negara tetangga yaitu Malaysia (20%) dan Thailand (27%), belum juga berbuah hasil.Indikasi lemahnya komitmen ini juga dirasakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya yang menyatakan bahwa Pemerintah dan DPR belum melakukan upaya yang optimal. Bahkan,putusan ini disambut dingin oleh pemerintah dengan mengatakan tidak akan merevisi anggaran pendidikan pada APBN 2007 (SINDO, 3/5).  

Aktivisme Konstitusional 

Daya upaya segenap pihak yang peduli akan nasib pendidikan bangsa ini telah dilakukan lewat berbagai cara.Tetapi lemahnya kesadaran hukum (lawlessness) para pejabat negara untuk mematuhi ketentuan konstitusi menyebabkan upaya tersebut menjadi tidak maksimal. Perlu usaha ekstrakeras untuk mewujudkan cita-cita para founding fathers dalam hal pemenuhan anggaran pendidikan ini. Agar hal tersebut bukan sekadar menjadi impian semu para generasi mendatang, cara-cara konvensional harus pula ditunjang dengan aktivisme konstitusional (constitutional activism) lainnya.

Pertama, dalam hal memperjuangkan hak pendidikan melalui ranah yudisial–– khususnya dalam bidang anggaran–– hingga saat ini masyarakat masih terpaku pada pergulatan di arena Mahkamah Konstitusi.  Padahal, sebenarnya upaya yang sama dapat pula dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat untuk melakukan pengujian terhadap peraturan daerah di wilayahnya masing-masing yang dianggap bertentangan dengan UU Sisdiknas ke hadapan Mahkamah Agung.

Peluang ini sangat terbuka lebar melalui pintu Pasal I Angka 20 UU No. 5/ 2004 tentang Mahkamah Agung, mengingat di dalam UU Sisdiknas telah termaktub juga berbagai hak warga negara guna memperoleh pembebasan biaya pada jenjang pendidikan dasar (Pasal 34), kewajiban dan jaminan dari Pemerintah Daerah atas tersedianya dana pendidikan untuk warga negara berusia 7 s.d.15 tahun (Pasal 6), Pengalokasian dana pendidikan minimal 20% dari APBD (Pasal 49), serta berbagai jaminan pendidikan lainnya.   Praktik yudisial seperti ini sudah sangat lazim dilakukan di pengadilan India. Sehingga kunci pemerataan kesempatan dan pesatnya pendidikan India juga dimotori oleh dukungan putusan pengadilannya. Bahkan, dalam putusan terakhirnya (29/03), Mahkamah Agung India mampu memutuskan untuk menyediakan reservasi bangku perguruan tinggi ternama sebesar 27% khusus kepada kelas masyarakat terbelakang (other backward classes).

Kedua,alasan yang dikemukakan oleh Komisi X DPR bahwa RUU APBN yang datang dari pemerintah sejak semula tidak mempunyai goodwill tidak dapat diterima.  Melepaskan tanggung jawab bukanlah solusi yang dinanti rakyat banyak. Sebab, bagaimanapun juga, anggaran adalah hasil bersama antara Pemerintah dan DPR secara institusional.

Ketiga, Mahkamah Konstitusi sebagai ”pengawal konstitusi” harus pula ditafsirkan sebagai lembaga yang berfungsi mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran konstitusi. Terhadap adanya kemungkinan berulangnya pelanggaran konstitusi yang sama,kiranya Mahkamah Konstitusi harus pula menempuh langkah untuk mengontrol efektivitas putusannya agar dijalankan oleh pemerintah.  Ketiga cara tersebut kiranya dapat dipertimbangkan oleh berbagai elemen masyarakat dan lembaga negara terkait. Jika kesadaran akan hak dan kewajiban konstitusional ini telah terbangun dalam sistem kehidupan berdemokrasi kita, niscaya seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah beserta masyarakat akan bersatu-padu guna mewujudkan pendidikan yang bermutu tinggi. Karena hanya dengan hal tersebutlah bangsa ini akan bangkit dan keluar dari krisis multidimensi yang tengah mendera selama satu dasawarsa terakhir.  

Akankah perkataan manis dari pemimpin kita yang mengatakan ”Saya takut jika melanggar Konstitusi” dan bahkan di dalam kesempatan sidang Inter-Parliamentary Union (IPO) juga berani mengimbau seluruh negara di dunia supaya memberikan keseriusan untuk menaikkan anggaran pendidikannya, diikuti pula dengan tindakan dan langkah yang lebih nyata di tahun-tahun mendatang? Semoga. (*)  

* Penulis adalah Wakil Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia se-India (PPI India), dapat dihubungi melalui pm_faiz_kw@yahoo.com.

Keterangan Foto: Malam “International Food Festival” di New Delhi. Anggota PPI India menggunakan ragam busana tradisional Indonesia.

The Constitutional Debate on the Death Penalty

By: Pan Mohamad Faiz (India) and Mohamad Mova Al’Afghani (Germany)

Source: Jakarta Post (click) on 4 May, 2007

The capital punishment debate resurfaces whenever a group of death row inmates lodges a judicial review with the Constitutional Court against death penalty articles under the 1997 Narcotics Law used by the criminal court to sentence them. Almost 130 countries have abolished capital punishment, while the rest, including Indonesia, still use it.

The petitioners argue that the death penalty is a denial of the right of life as guaranteed by Articles 28A and 28I of the 1945 Constitution. According to international human rights instruments such as the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), the right to life is a “non-derogable right”.

Indonesia is a party to the ICCPR but has not acceded to its protocols. The petitioner’s lawyers usually argue that as the Constitution mimics the ICCPR’s wording almost verbatim, they have to be interpreted parallel to the ICCPR.

The ICCPR does not prohibit the death penalty but its protocols do. As Indonesia is not party to any ICCPR protocol, the practice of the death penalty will not violate any international obligation to the ICCPR as long as the treatment of the inmates on death row and the execution of convicts is conducted in accordance with international standards.

It is then left to the problem of constitutional interpretation. Article 28I (1) of the Constitution guarantees that the right to life cannot be limited under any circumstances, but Article 28J (2) states that “In exercising his/her rights and freedoms, every person shall have the duty to accept the restrictions established by law… based upon the consideration of morality, religious values, security and public order in democratic society”. The debate goes on as to whether the application of Article 28I (1) — due to the phrase “cannot be limited under any circumstances” — is non-derogable, including by Article 28J (2).

The convict’s attorneys think that the rights under Article 28I (1) belongs to the cluster of rights which are non-derogable, including Article 28J (2). The government on the other hand, is of the opinion that Article 28J (2) may derogate Article 28I (1). Toward this polemic, there are a few methods of interpretation that can be applied.

First, by using the literal approach, it would appear that prohibition of the death penalty is stated nowhere in the Constitution. The wordings of “cannot be limited under any circumstances” under Article 28 I (1) cannot therefore be interpreted so as to mean prohibiting the death penalty. A comparison with Germany and
Vietnam’s constitutions would reveal that the prohibition of the death penalty is supported with a written, literal expression of the articles of the Constitution. As Indonesia’s Constitution has no such provision, the death penalty is so far in line with the Constitution.

Second, by using the teleological approach, it can be seen from the preamble that the purpose of the Constitution is to first “protect the whole people of Indonesia and the entire homeland of Indonesia”.
Indonesia reportedly has 3.2 million drug users with the number of deaths around 15,000 users per year or an average of 41 deaths per day due to overdose or drug-related AIDS infections. The state has a constitutional obligation to prevent these deaths and to prevent the occurrence of a lost generation. T
hus, the protection of the people by the state is paramount and would constitute a higher obligation in comparison to other duties.  

Third, using the systematical method of interpretation, it would be clear that Article 28 J is placed under the same chapter as Article 28 I, which is the amended human rights chapter. It is then conclusive that Article 28 J was made “in relation and with due regard to” Article 28 I. We do not consider it appropriate to interpret that the restriction towards the implementation of human rights under Article 28 J refers to clusters of rights other than Article 28 I. The restriction under Article 28 J appears to cover the whole set of the Constitution.  

Moreover, under the social contract construction, perpetrators are deemed to have waived their right to life, which is protected under the law, by acting in a manner that results in the loss of life. Thus, by “knowingly” killing others and being aware that their action entails capital punishment, they have given “implied consent” to be punished with the death penalty.

There are also a number of non-legal arguments which support the death penalty, especially when it comes to “the most serious crime”. There is no common understanding among UN Countries on this matter. Nonetheless, we can refer to the concluding observation of U.N. Doc. CCPR/C/79/Add. 25, 1993, which stated that the “imposition of [the death penalty]… for crimes that do not result in loss of life, as being contrary to the Covenant.”

The Advisory Council of Jurists of the Asia Pacific Forum considers such crimes to be those which involve the wanton destruction of human life. In their book, International Criminal Law and Human Rights (2003), Claire de Than and Edwin Shorts define the scope of “most serious crimes” as encompassing modern threats such as drug trafficking and terrorism. Narcotics-related crimes are the sort which may result in the loss of life. The debate however continues as narcotic accomplices does not “pull the trigger” themselves.

From a consequalist point of view, it may not be relevant that a certain crime is conducted “willfully and knowingly”, which means that there is a direct causal relation between the intention to kill and the consequences resulting from such intentions or only “knowingly”, which suggest that the intention to kill is not as manifest as the previous condition, as long as it results in the loss of life.

Thus, killing by producing and dealing narcotics is by no means a lesser evil compared to killing a person directly, as the perpetrators are fully aware that their actions will result in the loss of life.

Comparative studies have shown that most of the retentionist countries decided to abolish the death penalty after a long crucial public, judiciary and legislative debate. Due to de jure reality of death penalty, what may be done is restricting the offenses for which the death penalty is allowed under the law.

 ***

Pan Mohamad Faiz (http://panmohamadfaiz.blogspot.com) is the founder of the Institute for Indonesian Law and Governance Development

Mohamad Mova Al Afghani (http://indolawreport.blogspot.com) is the founder of the Center for Law Information.

Note Picture: 1st Writer (left) and other PPI members were taking a circle discussion with Prof. Azyumardi Azra (UIN Jakarta) and Dr. Rizal Sukma (CSIS) after praying in Musholla Baiturrahman KBRI New Delhi.