What to do about Israel visit?

Ahmad Qisa’i, Jakarta

 

This article was published at Jakarta Post (27/4/07)

 

After the fall of Thaksin’s government by a bloodless military coup in September last year, Indonesia must now bear the brunt. Thailand was scheduled to host this year’s Inter-Parliamentary Union (IPU) meeting but in the absence of a democratically elected parliament in Thailand, Indonesia has been asked to host the meeting which will be held in Bali from April 29 to May 3.

 

Established in 1889, IPU now has more than 140 members, including Indonesia. The appointment of Indonesia as host for this year’s meeting should be welcomed with open arms and recognized by the international community as an indicator that Indonesia is a working democracy. On the contrary, protests and objections have been raised by various Muslim organizations. Israel is the focus of these protests.

 

As a member of IPU, Israel will participate by sending a delegation of its MPs. But as the scheduled meeting draws near, protests and objections intensify over the proposed visit by the Israeli MPs to
Indonesia.
The chairman of Nahdlatul Ulama, Hasyim Muzadi, said in Jakarta on Monday that
Indonesia would bear a heavy psycho-political and security burden if the government allows Israeli MPs to attend the meeting. The IPU is responsible for inviting the Israeli MPs to participate in the meeting, but the Indonesian government is fully responsible for their safety and security during their stay in
Indonesia.
According to Muzadi, imminent danger from various elements in Indonesian society threatening the visiting Israeli MPs should be seriously considered by the Indonesian government before granting visas for them to attend the meeting in Bali. Security and safety is the main concern.

 

Furthermore, he predicted that considering the possible reaction from Indonesians, the Israeli Parliament would abandon the plan to attend the meeting in Bali. But on the contrary, he doubted the firmness of the Indonesian government to reject any visa application from Israeli MPs regardless of the pressure on the government.

 

Rejections have also come from the president of Muhammadiyah, Din Syamsuddin. He said that Israel has been illegally occupying Palestine and is practicing colonization. In the opening of the Indonesian Constitution, it clearly states that Indonesia rejects any form of colonization. Thus, it is understandable that Indonesians will reject the proposed visit by the Israeli MPs to Indonesia.

 

Furthermore, according to Syamsuddin, as a sovereign nation, Indonesia possesses traditions as well as rules and regulations that must be observed. Indonesia cannot just bow to foreign pressure. Protests will continue if the government holds its ground and allows Israeli MPs to visit Indonesia. These protests are aimed to pressure the Indonesian government to be steadfast in following its own principles, he argued.

 

Other Muslim organizations such as the Forum for Muslim Community (FUI) also reject the proposed visit. Discarding the claim by the Indonesian foreign minister that Indonesia is bound by international convention and thus must accept the proposed visit, a written statement from the FUI says that the Indonesian government does not have any diplomatic relations with Israel, therefore it must reject the visit.

 

On these grounds, it would be unwise for the Indonesian government to allow the delegation of Israeli MPs to visit Indonesia. Aside from security issues, allowing Israeli MPs to visit the country would mean the recognition of Israel as an independent state. The Indonesian Constitution is clearly against colonization, hence allowing Israeli MPs to visit Indonesia would indicate perpetuation of colonization.

 

However, it should be noted that the Indonesian government has been inconsistent in its policy toward
Israel. Even though the Foreign Ministry forbade the Indonesian Fed Cup team to play a mandatory tie with the Israeli team in Tel Aviv last year, citing the absence of any diplomatic ties with Israel, the Indonesian government allowed members of the Indonesian Chamber of Commerce (KADIN) to visit Israel in June 2006 to seal a deal with the Manufacturers Associations of Israel (MAI).

 

Both these issues had no political implications for Indonesia as they involved sport and business, yet each received different treatment. If the Indonesian government allowed President George W. Bush to visit Indonesia, when the U.S. has been illegally occupying Iraq and Afghanistan, what is the problem with Israeli MPs visiting Indonesia?

 

In my opinion, regardless of what the Israeli government has done toward the Palestinians, their visit to Indonesia is the responsibility of the IPU, in which Indonesia is a member. As a responsible host, the Indonesian government should allow the delegation from Israel to attend the meeting. I think it is time for Indonesia to re-think its policy toward Israel. If India, a staunch supporter of the Palestinian cause, can work hand-in-hand and form diplomatic ties with the Jewish state without decreasing or jeopardizing its support for Palestine and the Palestinian people, why can’t Indonesia do the same?

 

The writer is a political scientist and freelance writer with a Ph.D. in political science from
Aligarh Muslim University, Aligarh, India. He currently lives in Jakarta.


Picture Note: The writer was taking a Focus Group Discussion at Secretariat of PPI India, New Delhi on October 20, 2006.

In-House Class, E-Learning dan Homeschooling: Tantangan Pendidikan Nasional

Oleh: Suyadi, S.Pd, M.A.

 

            “Mencerdaskan kehidupan bangsa”, merupakan suatu tujuan bangsa yang sangat mulia yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, baik UUD 1945 yang belum ataupun yang sudah diamandemen. Landasan ini menjadi dasar yang kuat bagi setiap warga bangsa, para pemikir, terlebih bagi para pendiri bangsa (founding fathers) kita pada saat itu. Demi tercapainya suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang stabil, handal, bermartabat, makmur dalam keadilan serta adil dalam kemakmuran, maka disusunlah landasan pendidikan itu dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena pendidikan merupakan suatu hal yang sangat mendasar bagi suatu bangsa dalam meraih tujuan yang dicita-citakan, maka merupakan suatu keharusan bagi kita para generasi penerus bangsa untuk meneruskan cita-cita luhur para founding fathers tersebut.

            Silih berganti sistem pendidikan di Indonesia terus dilakukan oleh pemerintah sejak dari awal kemerdekaan hingga saat, namun sayangnya hingga saat ini Indonesia masih terus mencari bentuk / sistem pendidikan yang sesuai. Tragisnya lagi, entah sampai kapan kita akan menemukan bentuk baku sistem pendidikan yang dirasakan sesuai untuk Indonesia yang pluralistik ini. Pergantian kurikulum yang kerap dilakukan, sepertinya bukan menjadi suatu ukuran kesesuaian bagi bangsa kita yang Bhineka Tungga Ika ini, terlebih lagi saat penerapan otonomi daerah yang menglobal.

            Masing-masing daerah menerapkan sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi geografis masing-masing sehingga seringkali menimbulkan ketidaksinkronan antara kebijakan pusat dan kebijakan daerah. Yang membuat masyarakat pendidikan bingung dengan adanya berbagai macam bentuk pendidikan yang semuanya mengklaim bahwa kegiatan mereka benar/sah secara hukum. Pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak swasta, baik individu maupun kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan pihak pendidikan, terkesan profit oriented, dengan mengedepankan program pemikat stakeholders yang handal. Sementara dari pihak pemerintah telah membuat suatu rambu-rambu bagi para penyelenggara pendidikan baik itu di tingkat pusat maupun di daerah melalui berbagai peraturan, yang tidak begitu mengusik keberadaan para penyelenggara pendidikan yang dianggap illegal.

In-House Class

            Dalam Pelatihan sehari tentang Pemantapan Program Evaluasi Program Studi Berdasarkan Evaluasi Diri (EPSBED) Bagi PTS Se-Kopertis Wilayah X yang dilaksanakan oleh Kordinator Wilayah X di Universitas Batanghari Jambi pada hari Senin tanggal 23 April 2007 disampaikan bahwa kelas jauh dalam bentuk apapun dilarang pelaksanaannya karena bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999. Juga dalam Surat Edaran  Direktur Kelembagaan Dirjen Dikti Nomor 595/D5.1/2007 terhitung sejak tanggal 27 Februari 2007 telah melarang model Kelas Jauh dan Kelas Sabtu/Minggu dan telah menetapkan bahwa ijazah yang dikeluarkan tidak sah dan tidak dapat digunakan terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir/penyetaraan bagi Pegawai Negeri Sipil, TNI, dan Polri. Pertanyaannya apakah larangan ini mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap para penyelenggara pendidikan?

            Larangan itu layaknya seperti macan kertas yang hanya mempunyai bentuk “macan” namun tidak mampu menimbulkan perasaan takut sama sekali. Mereka tetap menyelenggarakan pendidikan yang dianggap illegal. Padahal dampak yang ditimbulkan oleh praktek seperti ini adalah para stakeholders itu sendiri. Terdapat kasus seorang lulusan dari PTS ternama yang lulus mengikuti tes di sebuah bank swasta yang juga ternama: namun ketika nama yang bersangkutan dicari kebenarannya melalui layanan internet ternyata nama PTS apalagi nama mahasiswa tersebut tidak terdaftar. Akhirnya calon pegawai bank ternama tersebut terpaksa tidak bisa meneruskan karirnya karena tersangkut masalah “illegal certificate”, suatu sertifikat yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi yang tidak terdaftar dalam data base-nya DIKTI.

            Setelah diusut dengan bantuan pihak kepolisian (karena merasa dirugikan) ternyata PTS tersebut melakukan praktek kelas jauh yang dilarang keberadaannya. Kemudian saksi ahli dipanggil dari pihak Kopertis untuk kasus tersebut: hasilnya ternyata PTS tersebut tidak melaksanakan proses belajar mengajar sebagaimana mestinya. Misalnya dengan menerapkan pola belajar untuk 2 sks itu seharusnya dilaksanakan selama 120 menit, namun hanya dilaksanakan selama 75 menit. Sehingga perkuliahan yang seharusnya memerlukan waktu minimal 150 sks untuk Strata Satu hanya dijalani dengan hanya 130 sks saja. Dan pihak PTS tidak mengirimkan segala aktifitas perkuliahan ke Kopertis selama lebih dari empat semester, dengan demikian nama PTS tersebut hilang dari data base DIKTI secara otomatis yang berarti pula izin penyelenggaraanya dianggap tidak ada (illegal).

            Kelas Jauh merupakan suatu kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh pihak penyelenggara di luar ketentuan SK (izin penyelenggaraan) yang diberikan oleh DIKTI. Dalam praktek Kelas Jauh ini, biasanya terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam proses pembelajaran yang semestinya. Misalnya saja pemadatan materi kuliah, yang seharusnya 24 sks itu seharusnya dilakukan tatap muka selama 4 atau 5 hari, dalam pelaksanannya hanya dua hari, Sabtu dan Minggu. Secara logis kita bisa mengukur kemampuan mahasiswa yang mengikuti proses pembelajaran seperti itu, sedangkan proses yang normal saja masih terjadi kesulitan pemahaman materi kuliah. Belum lagi waktu tatap muka yang seharusnya 2 sks memerlukan 120 menit, dalam pelaksanaannya hanya 75 menit saja. Bagaimana materi akan bisa dipahami?

Berbeda dengan Kelas Jarak Jauh, kelompok ini merupakan program penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan dengan fasilitas e-learning, merupakan suatu jenis pendidikan modern yang diharapkan kita semua mampu melakukan e-learning ini. Memang keberadaan dosen pengampu mata kuliah tidak bertemu secara langsung, namun mahasiswa hanya disajikan materi perkuliahan yang lengkap dan up to date hanya dengan membuka situs yang telah ditentukan. E-learning adalah suatu  proses pembelajaran yang memanfaatkan teknologi informasi berupa komputer yang dilengkapi dengan sarana telekomunikasi (internet, intranet dan ekstranet) serta multimedia (grafis, audio, dan video) sebagai media utama dalam penyampaian materi dan interaksi antara pengajar  dan pembelajar. E-learning sesuai dengan semangat otonomi daerah yang mengutamakan kemandirian institusi dalam menyelenggarakan pendidikan.

Homeschooling

            Sedang digodoknya rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) di DPR RI menimbulkan berbagai sakwasangka yang variatif. Sebagian menuduh bahwa dengan diterapkannya BHP ini hanya akan meningkatkan biaya operasional pendidikan, sebagian lagi sangat mengharapkan BHP ini segera diterapkan, dan sebagian lagi bingung, apa ada bedanya dengan perubahan-perubahan dalam bidang pendidikan itu? Sepertinya perubahan yang bagaimana pun, tidak membawa hasil yang memuaskan dalam peningkatan kualitas bangsa dalam kancah pendidikan internasional. Buktinya, dengan sekian kali perubahan, Indonesia hanya mampu memasukan 4 Perguruan Tinggi Negeri ke dalam kategori 500 besar tingkat internasional. Padahal jumlah Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia sekitar 80-an dan PTS berjumlah sekitar 2700-an, tak satupun yang mamasuki tingkat 100 besar dunia. Bandingkan dengan India yang penghasilan rata-ratanya lebih rendah dari kita (USD 1200 India; USD 1500 Indonesia, pertahun), mereka mampu menempatkan 5 perguruan tinggi di kelas 100 besar dunia.

            Segala macam program dalam bidang pendidikan terus dipacu dan dipicu dengan harapan dapat meningkatkan taraf pendidikan bangsa, namun tingkat kemiskinan kita masih jauh tertinggal, sehingga segala macam perubahan dalam pendidikan tidak membuahkan hasil yang maksimal. Ditambah lagi dengan pola hidup bangsa yang manja, cengeng, tidak kompetitif, suka tidur siang di kantor, plus kinerja yang kurang handal dan jiwa koruptif yang membudya. Semuanya itu menjadi pemicu akan anjloknya mutu pendidikan kita, sehingga pendidikan formal tidak memberikan solusi utama dalam menjawab masalah pendidikan. Lalu orang mencari alternatif pendidikan lain, yaitu homeschooling.

            Homeschooling, pendidikan rumahan, atau home education sebenarnya sudah mengakar di Indonesia sejak jaman dahulu. Jenis pendidikan yang tidak kaku, langsung menyentuh pada kebutuhan dasar dari sang peserta didik. Misalnya, seorang anak tukang kayu akan langsung belajar pada orang tuanya bagaimana caranya membentuk kayu-kayu tersebut menjadi benda yang berdaya nilai jual tinggi. Dia belajar tanpa ada aturan waktu, tidak perlu buku panduan yang harganya tak terukur oleh saku orang tuanya, tidak perlu seragam sekolah, tak perlu menunggu dana BOS yang mencairkannya saja perlu waktu lama bahkan berbelit dan tak perlu harus melunasi uang buku sebagai syarat ikut ujian akhir. Pokoknya semua serba praktis. Murah meriah. Laris manis.

            Keberadaan homeschooling dijamin oleh UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 khususnya Pasal 27 ayat (1) “Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri”. Ayat (2) “Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan non-formal setelah peserta didik lulus ujian dengan standar pendidikan nasional”. Diharapkan pihak pemerintah bisa menerbitkan ijazah untuk para siswa didik yang mengikuti jalur homeschooling ini. Dengan demikian Pendidikan Nasional akan dapat dengan segera menemukan jati dirinya, suatu jati diri bangsa yang menjadi landasan utama dalam meraih cita-cita bangsa seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei Tahun 2007, Mari Kita Tingkatkan Kualitas Bangsa.

* Penulis adalah Alumni University of Pune, India. Staf Pengajar ABA NH dan Dosen Luar FKIP Unja.