Pengalaman Kami: Incredible India, Incredible Learning Spirit

Oleh: Novian Widiadharma, Mahasiswa Program S3 Filsafat, Delhi University

Hari itu aku berada di toko buku langgananku di Bungalow Road Jawahar Nagar, sekitar Kamla Nagar yang lokasinya tidak jauh dari kampusku di University of Delhi. Aku berniat untuk mencari tambahan materi bagi projek penelitianku. Ada cerita mengapa aku sering ke sana. Toko buku itu sebenarnya juga merupakan kantor penerbit yang mengkhususkan diri pada buku-buku tentang Indologi, ilmu kajian tentang India, namanya Motilal Banarsidass (MBD). Sebenarnya sejak di UGM aku sudah memakai buku-buku MBD sebagai referensi utamaku, baik untuk skripsi maupun tesis. Buku-buku ini ada di perpustakaan UGM hasil sumbangan dari Kedutaan Besar India Jakarta pada sekitar tahun 1950-60an. Ini salah satu alasan mengapa aku memilih studi di India karena merasa terkesan pada buku-buku sumbangan pemerintah India tersebut.

Setelah puas dengan buku-buku di MBD, aku keluar dari toko buku dan berniat untuk berjalan ke Kamla Nagar tempat teman-teman Indonesia tinggal. Karena masih di lingkungan kampus DU (Delhi University), di sepanjang Bungalow Road banyak toko buku yang menyediakan bahan-bahan perkuliahan untuk para mahasiswa. Walaupun tidak selengkap Nai Sarak di Old Delhi maupun Sunday Market di sepanjang Darya Ganj, Delhi dalam menyediakan buku-buku bacaan, kawasan ini cukup ramai dan sering dijadikan rujukan untuk mendapatkan buku-buku teks kuliah.

Sepanjang jalan banyak orang melakukan aktivas ekonomi dengan menawarkan berbagai barang jasa. Kawasan Kamla Nagar merupakan salah satu pusat perekonomian di kota Delhi bagian utara. Banyak orang yang berjualan buku, pakaian, makanan, cinderamata, dan lain sebagainya.

Di Delhi ada bisnis jasa yang belum lazim di Indonesia yakni bisnis timbang badan. Jadi dengan membayar satu atau dua rupee (sekitar Rp 200 – Rp 400) kita bisa mengetahui berat badan kita. Hanya dengan bermodalkan timbangan badan seseorang bisa memulai usaha ini. Ini tidak mahal serta mudah. Suatu usaha yang bisa dilakukan oleh siapa saja bahkan oleh orang yang sudah sangat tua atau anak-anak sekalipun.
Entah mengapa, sore itu pandanganku tertuju pada seorang anak perempuan yang sedang duduk di hadapan timbangan dengan tangan sedang tertunduk sepertinya sedang melakukan sesuatu, di depan sebuah toko yang menjual buku-buku kuliah di Bungalow Road, Kamla Nagar.

Aku penasaran sedang apa dia? Ternyata ia sedang menyalin sesuatu dari buku teks ke dalam buku tulisnya. Aku amati anak ini sekian lama apa sesungguhnya yang ia lakukan dan mengabadikannya dalam beberapa kilatan kamera. Sampai akhirnya aku berkesimpulan, jadi sambil menunggu orang yang berniat memakai jasanya untuk menimbang badan, ia gunakan waktu yang ada untuk belajar atau mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya di sekolah.

Aku sesungguhnya sangat prihatin, kemiskinan telah memaksa anak-anak ini untuk bekerja mencari nafkah dan kehilangan kesempatan mereka untuk menikmati masa kanak-kanak. Walaupun secara legal mempekerjakan anak dilarang, namun kenyataannya hal ini sudah menjadi pemandangan umum di India. Namun demikian aku salut atas semangat anak-anak ini dalam belajar. Di tengah-tengah keterbatasan yang ada mereka tetap berusaha belajar dengan tekun dan keras. Melihat hal ini terus terang aku malu pada diriku sendiri. Betapa selama ini aku telah mendapatkan lebih banyak nikmat dibandingkan dengan mereka. Aku harus lebih bersyukur atas keadaanku sekarang. Mereka menyadarkan aku untuk lebih bisa mempertanggungjawabkan berbagai kesempatan dan kemudahan yang telah diberikan padaku.

Sebelumnya, aku juga pernah baca novel “Laskar Pelangi” dan melihat filmnya, hanya masalahnya aku melihat kejadian ini dengan mata kepalaku sendiri. Ini adalah contoh terekstrim yang pernah kusaksikan betapa kerasnya orang-orang India dalam belajar atau menuntut ilmu. Selama ini sudah banyak kutemui orang-orang India yang menghabiskan waktu dengan membaca di mana pun mereka berada. Jika kita menggunakan Metro (MRT di Delhi) tidak sedikit dari mereka yang mengisi waktunya dengan membaca. Kadang aku penasaran, apa sih yang mereka baca? Ternyata mereka membaca bacaan ‘serius’, entah itu non-fiksi, novel, buku teks kuliah dan sebagainya, bukan sebangsa koran gosip, infotainment, atau komik.

Aku belum tiga bulan di Delhi, tapi aku bisa melihat bahwa secara umum orang India lebih gemar membaca daripada orang Indonesia. Mungkin bacaan anak-anak SMA di India lebih baik secara kualitas dan kuantitas daripada bacaan mahasiswa Indonesia. Di sini, bacaan bermutu lebih mudah didapatkan dengan harga yang tidak mahal pula. Aku melihat teman-teman mahasiswa Indonesia yang belajar di India harus bekerja ekstra keras untuk mengimbangi kawan India mereka. Ini bukan karena orang India lebih pintar tapi lebih disebabkan karena orang India lebih banyak membaca daripada teman-teman mahasiswa Indonesia. Terus terang aku salut atas perjuangan para mahasiswa Indonesia di India yang bekerja lebih keras daripada teman-teman mereka di tanah air.
II.

Malamnya, ketika sudah sampai di kediamanku di International Student’s House University of Delhi kamar nomor 29, aku lalu berpikir apa yang membuat orang India demikian keras dalam belajar? Apa yang menjadi dasar dari hal yang menurutku sangat luar biasa (incredible) tersebut? Untuk diketahui, India menggunakan tag “Incredible India” untuk slogan pariwisata mereka. Mengapa mereka sedemikian terobsesi dengan belajar dan pengetahuan?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, aku melakukan perenungan untuk memahami dasar dari pandangan hidup mereka melalui bidang yang kutekuni yakni filsafat timur. Jika dilacak sampai jauh ribuan tahun ke belakang, maka ‘pengetahuan’ merupakan kata kunci dari peradaban India kuno, yang tetap terlembagakan dalam agama dan filsafat yang mereka anut hingga saat ini. Pengetahuan bisa dikatakan adalah segalanya bagi orang India. Menurut mereka, bila orang ingin selamat atau mencapai kelepasan spiritual ia memerlukan pengetahuan; bila ingin bahagia di dunia ia juga membutuhkan pengetahuan, semuanya bergantung pada pengetahuan. Ini benar sekali, jika kita tidak punya ‘pengetahuan’ tapi mencoba hidup di Delhi, rasanya seperti benar-benar hidup di neraka. Cobalah buktikan sendiri kalau tidak percaya.

Kita tentu mengenal stratifikasi masyarakat India atau yang lebih dikenal sistem kasta (cātur-varṇa) dalam Hinduisme. Kita mengenal bahwa kasta Brahmana adalah kasta tertinggi dibandingkan ketiga kasta yang lain. Mengapa ini bisa terjadi? Bukankan kekuasaan ada di tangan kasta Ksatria? Atau kekayaan ada di kasta Vaisya? Walaupun kekuasaan ada di tangan para Ksatria dan kekayaan ada di genggaman Vaisya namun pengetahuan dan kebijaksanaan ada sepenuhnya di tangan kaum Brahmin. Ini menunjukkan superioritas pengetahuan di atas kekuasaan dan kekayaan. Pengetahuan adalah kebijaksanaan, kuasa dan kekayaan sekaligus. Biar bagaimanapun kekuasaan membutuhkan pengetahuan, bagaimana mungkin seseorang berkuasa atau memerintah tanpa dibimbing oleh suatu pengetahuan?; demikian pula halnya dengan hubungan antara kekayaan dan pengetahuan. Dalam kitab Bhagavad Gītā mereka memperkenalkan adanya jalan pengetahuan atau ‘jnāna yoga’ sebagai salah satu dari tiga jalan dalam menjalani hidup.

Jika dalam Hinduisme begitu lalu bagaimana dengan tradisi Buddhis yang juga berasal dari India? Inti ajaran Buddha memandang bahwa penderitaan (duhkha) adalah suatu yang eksistensial dalam hidup seseorang. Oleh karena itu ajaran ini ingin membantu manusia melenyapkan penderitaan. Apa yang menjadi akar dari segala penderitaan? Buddhisme menjawab ‘kebodohan’ (avidyā). Bagaimana mengatasi hal ini? Tentu saja pertama-tama diawali dengan ‘pengetahuan yang benar’ dan ‘pikiran yang benar’, kemudian diikuti dengan langkah-langkah berikutnya. Sekali lagi ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan kebijaksanaan memiliki tempat yang pertama dan utama.

Kedua hal tersebut belum cukup memuaskanku. Aku mencoba melacak lebih jauh kali ini dengan menggunakan penyelidikan pada bahasa yang mereka gunakan. Bahasa bisa dikatakan merupakan suatu konstruksi bagaimana suatu bangsa memandang dunianya. Dalam hal ini aku ingin melihat seberapa pentingnya kata ‘pengetahuan’ itu? Di sini aku memakai ‘A Dictionary English and Sanskrit’ (1851) dari M. Monier Williams. Aku ingin tahu berapa padanan kata untuk kata kerja ‘to know’ dan kata benda ‘knowledge’ dalam bahasa Sanskrta. Mengapa mengambil contoh dari bahasa Sanskrta? Alasannya ialah bahasa ini adalah bahasa India kuno yang menjadi dasar dari bahasa-bahasa India yang ada sekarang.

Apa yang aku dapatkan dari sampel kecil ini? Hasilnya cukup mengejutkan dan membenarkan dugaan awalku. Untuk verba ‘to know’ (mengetahui) ditemukan 28 padanan kata Sanskrta. Sedangkan untuk nomina ‘knowledge’ (pengetahuan) terdapat 81 padanan kata. Ini menandakan mereka begitu rigid dan terperinci dalam menjabarkan dan memaknai kata ‘pengetahuan’. Sekali lagi memperlihatkan bahwa pengetahuan adalah kunci dari peradaban mereka. Tidak itu saja, hal tersebut mereka wariskan dari generasi ke generasi selama ribuan tahun.

Dari sini kita dapat mengambil pelajaran berharga dari mereka. Kita tentu tahu, banyak hal-hal buruk dari orang India yang tentunya tidak perlu kita tiru. Namun ada hal positif yang perlu kita teladani pada diri mereka, yakni semangat dalam belajar atau obsesi terhadap pengetahuan yang luar biasa. Aku yakin bahwa bangsa kita tidak kalah pintar dari orang India, atau bangsa manapun di dunia ini. Yang perlu kita dorong adalah semangat untuk terus tekun belajar dan bekerja keras, karena kita sering terlena oleh berbagai kemudahan seperti kecerdasan serta karunia kekayaan alam yang Tuhan berikan kepada kita.

Pengalaman Kami: Kualitas Alumni India

Oleh: Adlan Bagus Pradana, Mahasiswa S2 Electrical Engineering, IIT Delhi

—————————————————Kuliah Kok ke
India?—————————————————–

Mengapa India…??? Hmmm…seorang teman lama yang saya hormati bertanya mengapa saya harus meninggalkan pekerjaan mapan dan fasilitas serba gratis saya di Papua untuk kuliah di India. Untuk menjawabnya
pertanyaan tersebut harus saya urai dulu menjadi 2 pertanyaan. 1, sekolah lagi, 2, di India.

Yang pertama sekolah lagi. Sekolah di luar negeri sudah saya damba2kan sejak lulus SMP. Waktu itu saya melamar beasiswa di Singapura bersama teman saya yang sekarang sudah jadi Komandan Brimob di Bogor. Gagal.
Yah itulah pengalaman pertama saya. Lulus SMA saya coba lagi peruntungan saya melamar beasiswa di Jepang atau yang terkenal dengan beasiswa Monbukagakusho. Lagi2 gagal. Sebelumnya saya ingat sekali bahwa setelah saya lulus saya mengefax (bener gak sih tulisannya) ratusan aplikasi beasiswa ke berbagai negara dengan alamat yang saya dapatkan dari CD interaktif UMPTN. Rata2 membalas bahwa tidak ada beasiswa untuk undergraduate (S-1). Ada 1 yang malah mengirim buku mengenai negaranya, kalau tidak salah Austria. Lulus dari perguruan tinggi saya ditawari mengajar di almamater saya, yang tentu saja merupakan jaminan bagi saya untuk mendapatkan beasiswa. Karena fakultas teknik almamater saya tergabung dengan jaringan Asean University Network (AUN) maka saya berhak untuk mengikuti beasiswa yang namanya AUN SEED NET. Untuk jurusan saya, Teknik Elektro maka pilihan pertama adalah universitas di Singapura antara Nanyang Technological University (NTU) atau National University of Singapore (NUS) dan pilihan kedua adalah Chulalongkorn University (CU) di Thailand. NUS dan NTU adalah pilihan pertama untuk semua jurusan teknik, jadi peluangnya kecil sekali, sedang pilihan kedua hampir di tangan, apatahlagi kalau kita berstatus dosen. Karena saya pikir NTU dan NUS peluangnya kecil dan kalau diterima di CU maka harus diambil, saya tidak jadi mengambil kesempatan itu. Thailand kurang keren pikir saya. Lagipula tawaran untuk jadi dosen urung saya ambil karena saya tergoda oleh nilai rupiah yang ditawarkan oleh salah satu perusahaan alat berat di Jakarta.

Maka bekerjalah saya di perusahaan alat berat itu. Saya diterima bersama 13 orang lainnya dari berbagai universitas di Indonesia. Kami harus melewati berbagai pelatihan untuk nantinya disebar di seluruh cabang perusahaan tersebut yang ada di seluruh nusantara. Setelah setahun tibalah saatnya bagi kami untuk dikirim ke cabang2 yang membutuhkan. Teman2 saya seingat saya tidak ada yang mau untuk dikirim ke Papua, rata2 ingin ditempatkan di Jakarta atau Surabaya. Hanya 1 orang yang geblek, yaitu saya sendiri yang sangat berminat dikirim ke sana. Ketika ditanya alasannya singkat saja jawaban saya, uangnya lebih banyak, dapat berbagai fasilitas, cuti lebih banyak. Sangat2 pragmatis sebagai seorang mahasiswa.

 

Maka bekerjalah saya di Papua. Namun semangat saya untuk sekolah di luar negeri (LN) masih belum padam. Hampir setiap malam saya selalu berselancar di dunia maya untuk melihat2 peluang beasiswa yang ada. Prinsip saya waktu itu di mana saja, jurusan apa saja, yang penting di LN. Sampai suatu malam saya membaca informasi mengenai studi di India. “India…??? Mau jualan kain..?? Apa mau buat film..??” Begitu pikir saya. Setelah saya baca ternyata India merupakan negara yang cukup maju. GDP-nya 5 besar di dunia. Dan yang mengagetkan saya insinyur2nya tersebar di seluruh dunia, dari NASA, Microsoft sampai perusahaan lokal macam KPC di Kalimantan. Wow. Boleh juga ni. Saya baca lagi ternyata biaya kuliahnya dan biaya hidupnya tidak terlalu mahal. Bayarable (bisa dibayar) pikir saya. Untuk teknologi universitas yang terbaik di India adalah Indian Institute of Technology (IIT). Ada 8 IIT di seluruh India; Bombay, Delhi, Kanpur, Kharagpur, Guwahati, Roorkee, Madras, dan Bangalore. Namun sayang untuk masuk ke sana harus melalui tes yang sangat sulit, namanya Graduate Aptitude Test for Engineer (GATE). Dan untuk orang asing biayanya sangat mahal USD 4000/semester. Maka sebagai alternative saya mencari universitas yang bagus di luar IIT. Sampailah pilihan saya ke Delhi University (DU).

Selain peringkatnya bagus, letaknya di kota Delhi sehingga saya pikir aksesnya gampang kalau sewaktu2 saya harus pulang ke Indonesia. Maka saya bertekad saya akan mencari beasiswa sambil menabung. Jika sampai 2010 akhir dimana ikatan dinas saya selesai saya belum dapat beasiswa, maka saya akan melamar ke DU dengan biaya sendiri. Teman2 saya berkata “Cari uang susah2 ke Papua kok cuma dibuat sekolah”. Jawaban saya adalah, “Men, sekolah di LN itu impian saya. Daripada nanti saya mati jadi arwah penasaran, lebih baik saya capai cita2 itu, tak peduli berapa biayanya”.

Maka sejak saat itu saya menjadi scholarship hunter. Setiap ada peluang beasiswa selalu saya ikuti. Dari informasi di internet selalu saya dapati bahwa lembaga pemberi beasiswa rata2 mensyaratkan pengalaman minimal 2 tahun kerja. Waduh, berarti saya harus tunda lagi dong, begitu pikir saya. Sambil menunggu pengalaman kerja saya 2 tahun saya persiapkan semua syarat yang diperlukan untuk melamar beasiswa seperti paspor dan TOEFL. Beruntung bagi saya karena cuti yang lumayan banyak saya jadi punya kesempatan untuk melengkapi berkas2 saya di waktu cuti tersebut. Untuk tes TOEFL karena harganya yang mahal (untuk Internet Based Test/IBT), dan di Papua tempat saya bekerja tidak ada yang mengadakannya maka strategi saya adalah setiap pulang cuti saya selalu ikut TOEFL like test di universitas adik saya. Ketika saya sudah PD barulah saya daftar TOEFL IBT yang mahal itu. Alhamdulillah skor saya lumayan bagus. Cukuplah kalau untuk melamar di berbagai universitas di Australia. Ternyata umumnya lembaga pemberi beasiswa lebih berminat untuk memberi beasiswa ke Pegawai Negeri Sipil (PNS), pekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau sejenisnya yang untuk kepentingan orang banyak. Karena saya adalah pekerja swasta, saya pikir saya harus membuat nilai jual saya lebih tinggi di mata lembaga pemberi beasiswa. “Apa ya…???”, pikir saya. “Ah, gimana kalau dosen lepas”. Maka saya cari2 adakah universitas di tempat saya bekerja.

Ternyata ada, namanya adalah Politeknik Amamapare. Ternyata walaupunada di internet, untuk mencarinya di dunia nyata tidak semudah pencarian di gugel. Hampir semua tukang ojek tidak tahu. Sampai akhirnya suatu malam saya sampai ke Politeknik itu dan bertemu dengan salah seorang dosennya. Di situ saya sampaikan minat saya untuk mengajar di sana. Diterima. Memang di samping untuk meningkatkan nilai CV saya, mengajar adalah salah satu hobi saya. Ternyata ada lagi halangan. Untuk melamar beasiswa dibutuhkan ijazah yang diterjemahkan.

Sementara ijazah saya ditahan oleh perusahaan saya selama ikatan dinas 3 tahun. Tapi dasar namanya penjahat, saya lapor ke kampus saya kalau ijazah saya hilang dan saya minta surat keterangan pengganti ijazah. Setelah suratnya datang saya pamerkan ke HRD di kantor saya. Ambil tuh ijazah. Saya dah ada gantinya. Betul2 geblek saya….

Selama menjadi scholarship hunter, beasiswa yang pernah saya daftarkan adalah beasiswa ADB-JSP di IIT Delhi (India), DAAD (Jerman), BGF (Prancis), ALA (Australia) dan ADS (Australia). Beasiswa DAAD saya pernah ditelepon petugasnya karena saya asal2an mendaftar di universitas yang ternyata tidak ada jurusan yang saya tuju. Saya pikir waktu itu karena Jerman adalah pusatnya teknologi maka setiap universitas pasti ada jurusan yang saya mau. Beasiswa BGF tidak ada berita. Beasiswa IIT Delhi juga tidak ada berita. Suatu ketika ada email dari beasiswa ALA di inbox saya. Alhamdulillah
ya Allah akhirnya kesempatan itu datang juga. Beasiswa ALA ini agak unik, karena sebelum melamar beasiswa kita diharuskan untuk melamar univeritas dulu dari daftra universitas yang mereka berikan. Karena prinsip saya adalah yang penting di LN maka saya daftarkan diri saya di hampir semua universitas yang ada di daftar, tak peduli jurusan apa. Kalau ada elektro syukur, kalau gak ada teknik yang agak umum, kalau gak ada manajemen ya nggak apa2. Ada 3 universitas yang menerima saya Univerity of Tasmania (UTAS), Canberra Univeristy dan 1 lagi saya lupa. Untuk pendaftaran di ALA saya pilih yang UTAS dengan jurusan Resource Management. Keren juga jurusannya. Singkat kata saya dipanggil ke Jakarta untuk wawancara. Saya Tanya ke petugasnya (yang belakangan setelah beberapa tahun baru saya tahu ternyata saudara jauh dengan saya). “Ada berapa orang Mbak yang wawancara”. “25 orang Pak”. “Untuk berapa orang beasiswanya”. “Biasanya 15 orang dari Indonesia Pak”. Terbersit optimisme di hati saya, 15 dari 25. Saya dari Indonesia timur which is lebih diprioritaskan, Australiaaaa….. saya dataaaaa…….nggggg…. Beassiwa ALA ini memang mantap betul, mereka menyediakan tiket dari Papua ke Jakarta. Tapi karena kebetulan pada tanggal wawancara saya cuti di Surabaya, saya minta tiket dari Surabaya ke Jakarta saja. Selain itu, mereka juga menyediakan penginapan di hotel di Jakarta, yang belakangan saya tahu harganya sangat mahal. Sebagai persiapan wawancara, saya baca lagi keterangan mengenai jurusan saya yang cukup keren tadi. Oh my God…, ternyata mengenai pertanian, dimana salah satu mata kuliahnya tentang ilmu
tanah. Ah maju terus pantang mundur. Belajar listrik yang gak keliatan saja saya bias, apalagi tanah. Begitu pikir saya. Dan saya pun mengikuti sesi wawancara di Jakarta dengan penuh percaya diri. Utusan Papua pikir saya. Dan hasilnya gagal maning son…..Beberapa bulan kemudian ALA mengirimkan email yang menyatakan bahwa saya tidak diterima. Hancurlah hati saya. Ternyata saya terlalu percaya diri dan optimis yang ternyta sudah bergeser ke sombong yang mana sangat dibenci Tuhan.
Hampir setahun kemudian ada email dari IIT Delhi yang meminta saya mengirimkan surat keterangan pendapatan setahun. “Lho ada juga kabarnya setelah 1 tahun”, begitu pikir saya. Sebulan kemudian datanglah pengumuman itu kalau saya diterima di IIT Delhi. Saya langsung loncat2 kegirangan. “Alhamdulilah, tengkyu ya Allah….I love U full…..” Jadi begitulah ceritanya mengapa saya sampai di India. “Oooo….jadi kebetulan to…???”. “Menyesal..??” Tentu saja tidak. Setelah saya cek di internet bersdasarkan peringkat Time Higher Education Suplementary (THE) di www.topuniversities.com untuk electrical engineering IIT Delhi adalah peringkat 41 mengungguli universitas2 terkenal seperti Kyoto University (Jepang), TU Delft dan TU Eindhoven (Belanda), dan John Hopkins University (USA). Bahkan tidak ada 1 pun universitas di Jerman yang peringkatnya lebih tinggi dari IIT Delhi. Itu pulalah jawaban kenapa teman kamar saya adalah exchange student dari TU Darmstadt Jerman. Hal yang lain adalah beberapa hari setelah saya kuliah berlangsung acara wisuda. Setiap tahunnya pada acara wisuda diadakan pula acara yang namanya Alumni Distinguish Award. Untuk tahun 2010 salah satu penerimanya adalah Prof Harbir Singh, Dekan Wharton Business School University of Pensylvania. What …??? Dekan Wharton Business School orang India…??? Yups… dan ternyata dia cuma salah 1 orang ajaib penerima Alumni Distinguish Award lainnya dengan reputasi internasional seperti peneliti NASA dan Microsoft. What…??? NASA..?? Microsoft…?? Lebih jelasnya baca sendiri saja, http://indest.iitd.ac.in/alumni/Dist.%20Award/Alumni%20Award.htm.
Jadi begitulah gambaran mengenai pendidikan di India, walaupun belum banyak terdengar oleh kita di Indonesia, tapi rupanya sudah cukup terdengar di Amerika dan dunia.