Oleh: Novian Widiadharma, Mahasiswa Program S3 Filsafat, Delhi University
Hari itu aku berada di toko buku langgananku di Bungalow Road Jawahar Nagar, sekitar Kamla Nagar yang lokasinya tidak jauh dari kampusku di University of Delhi. Aku berniat untuk mencari tambahan materi bagi projek penelitianku. Ada cerita mengapa aku sering ke sana. Toko buku itu sebenarnya juga merupakan kantor penerbit yang mengkhususkan diri pada buku-buku tentang Indologi, ilmu kajian tentang India, namanya Motilal Banarsidass (MBD). Sebenarnya sejak di UGM aku sudah memakai buku-buku MBD sebagai referensi utamaku, baik untuk skripsi maupun tesis. Buku-buku ini ada di perpustakaan UGM hasil sumbangan dari Kedutaan Besar India Jakarta pada sekitar tahun 1950-60an. Ini salah satu alasan mengapa aku memilih studi di India karena merasa terkesan pada buku-buku sumbangan pemerintah India tersebut.
Setelah puas dengan buku-buku di MBD, aku keluar dari toko buku dan berniat untuk berjalan ke Kamla Nagar tempat teman-teman Indonesia tinggal. Karena masih di lingkungan kampus DU (Delhi University), di sepanjang Bungalow Road banyak toko buku yang menyediakan bahan-bahan perkuliahan untuk para mahasiswa. Walaupun tidak selengkap Nai Sarak di Old Delhi maupun Sunday Market di sepanjang Darya Ganj, Delhi dalam menyediakan buku-buku bacaan, kawasan ini cukup ramai dan sering dijadikan rujukan untuk mendapatkan buku-buku teks kuliah.
Sepanjang jalan banyak orang melakukan aktivas ekonomi dengan menawarkan berbagai barang jasa. Kawasan Kamla Nagar merupakan salah satu pusat perekonomian di kota Delhi bagian utara. Banyak orang yang berjualan buku, pakaian, makanan, cinderamata, dan lain sebagainya.
Di Delhi ada bisnis jasa yang belum lazim di Indonesia yakni bisnis timbang badan. Jadi dengan membayar satu atau dua rupee (sekitar Rp 200 – Rp 400) kita bisa mengetahui berat badan kita. Hanya dengan bermodalkan timbangan badan seseorang bisa memulai usaha ini. Ini tidak mahal serta mudah. Suatu usaha yang bisa dilakukan oleh siapa saja bahkan oleh orang yang sudah sangat tua atau anak-anak sekalipun.
Entah mengapa, sore itu pandanganku tertuju pada seorang anak perempuan yang sedang duduk di hadapan timbangan dengan tangan sedang tertunduk sepertinya sedang melakukan sesuatu, di depan sebuah toko yang menjual buku-buku kuliah di Bungalow Road, Kamla Nagar.
Aku penasaran sedang apa dia? Ternyata ia sedang menyalin sesuatu dari buku teks ke dalam buku tulisnya. Aku amati anak ini sekian lama apa sesungguhnya yang ia lakukan dan mengabadikannya dalam beberapa kilatan kamera. Sampai akhirnya aku berkesimpulan, jadi sambil menunggu orang yang berniat memakai jasanya untuk menimbang badan, ia gunakan waktu yang ada untuk belajar atau mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya di sekolah.
Aku sesungguhnya sangat prihatin, kemiskinan telah memaksa anak-anak ini untuk bekerja mencari nafkah dan kehilangan kesempatan mereka untuk menikmati masa kanak-kanak. Walaupun secara legal mempekerjakan anak dilarang, namun kenyataannya hal ini sudah menjadi pemandangan umum di India. Namun demikian aku salut atas semangat anak-anak ini dalam belajar. Di tengah-tengah keterbatasan yang ada mereka tetap berusaha belajar dengan tekun dan keras. Melihat hal ini terus terang aku malu pada diriku sendiri. Betapa selama ini aku telah mendapatkan lebih banyak nikmat dibandingkan dengan mereka. Aku harus lebih bersyukur atas keadaanku sekarang. Mereka menyadarkan aku untuk lebih bisa mempertanggungjawabkan berbagai kesempatan dan kemudahan yang telah diberikan padaku.
Sebelumnya, aku juga pernah baca novel “Laskar Pelangi” dan melihat filmnya, hanya masalahnya aku melihat kejadian ini dengan mata kepalaku sendiri. Ini adalah contoh terekstrim yang pernah kusaksikan betapa kerasnya orang-orang India dalam belajar atau menuntut ilmu. Selama ini sudah banyak kutemui orang-orang India yang menghabiskan waktu dengan membaca di mana pun mereka berada. Jika kita menggunakan Metro (MRT di Delhi) tidak sedikit dari mereka yang mengisi waktunya dengan membaca. Kadang aku penasaran, apa sih yang mereka baca? Ternyata mereka membaca bacaan ‘serius’, entah itu non-fiksi, novel, buku teks kuliah dan sebagainya, bukan sebangsa koran gosip, infotainment, atau komik.
Aku belum tiga bulan di Delhi, tapi aku bisa melihat bahwa secara umum orang India lebih gemar membaca daripada orang Indonesia. Mungkin bacaan anak-anak SMA di India lebih baik secara kualitas dan kuantitas daripada bacaan mahasiswa Indonesia. Di sini, bacaan bermutu lebih mudah didapatkan dengan harga yang tidak mahal pula. Aku melihat teman-teman mahasiswa Indonesia yang belajar di India harus bekerja ekstra keras untuk mengimbangi kawan India mereka. Ini bukan karena orang India lebih pintar tapi lebih disebabkan karena orang India lebih banyak membaca daripada teman-teman mahasiswa Indonesia. Terus terang aku salut atas perjuangan para mahasiswa Indonesia di India yang bekerja lebih keras daripada teman-teman mereka di tanah air.
II.
Malamnya, ketika sudah sampai di kediamanku di International Student’s House University of Delhi kamar nomor 29, aku lalu berpikir apa yang membuat orang India demikian keras dalam belajar? Apa yang menjadi dasar dari hal yang menurutku sangat luar biasa (incredible) tersebut? Untuk diketahui, India menggunakan tag “Incredible India” untuk slogan pariwisata mereka. Mengapa mereka sedemikian terobsesi dengan belajar dan pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, aku melakukan perenungan untuk memahami dasar dari pandangan hidup mereka melalui bidang yang kutekuni yakni filsafat timur. Jika dilacak sampai jauh ribuan tahun ke belakang, maka ‘pengetahuan’ merupakan kata kunci dari peradaban India kuno, yang tetap terlembagakan dalam agama dan filsafat yang mereka anut hingga saat ini. Pengetahuan bisa dikatakan adalah segalanya bagi orang India. Menurut mereka, bila orang ingin selamat atau mencapai kelepasan spiritual ia memerlukan pengetahuan; bila ingin bahagia di dunia ia juga membutuhkan pengetahuan, semuanya bergantung pada pengetahuan. Ini benar sekali, jika kita tidak punya ‘pengetahuan’ tapi mencoba hidup di Delhi, rasanya seperti benar-benar hidup di neraka. Cobalah buktikan sendiri kalau tidak percaya.
Kita tentu mengenal stratifikasi masyarakat India atau yang lebih dikenal sistem kasta (cātur-varṇa) dalam Hinduisme. Kita mengenal bahwa kasta Brahmana adalah kasta tertinggi dibandingkan ketiga kasta yang lain. Mengapa ini bisa terjadi? Bukankan kekuasaan ada di tangan kasta Ksatria? Atau kekayaan ada di kasta Vaisya? Walaupun kekuasaan ada di tangan para Ksatria dan kekayaan ada di genggaman Vaisya namun pengetahuan dan kebijaksanaan ada sepenuhnya di tangan kaum Brahmin. Ini menunjukkan superioritas pengetahuan di atas kekuasaan dan kekayaan. Pengetahuan adalah kebijaksanaan, kuasa dan kekayaan sekaligus. Biar bagaimanapun kekuasaan membutuhkan pengetahuan, bagaimana mungkin seseorang berkuasa atau memerintah tanpa dibimbing oleh suatu pengetahuan?; demikian pula halnya dengan hubungan antara kekayaan dan pengetahuan. Dalam kitab Bhagavad Gītā mereka memperkenalkan adanya jalan pengetahuan atau ‘jnāna yoga’ sebagai salah satu dari tiga jalan dalam menjalani hidup.
Jika dalam Hinduisme begitu lalu bagaimana dengan tradisi Buddhis yang juga berasal dari India? Inti ajaran Buddha memandang bahwa penderitaan (duhkha) adalah suatu yang eksistensial dalam hidup seseorang. Oleh karena itu ajaran ini ingin membantu manusia melenyapkan penderitaan. Apa yang menjadi akar dari segala penderitaan? Buddhisme menjawab ‘kebodohan’ (avidyā). Bagaimana mengatasi hal ini? Tentu saja pertama-tama diawali dengan ‘pengetahuan yang benar’ dan ‘pikiran yang benar’, kemudian diikuti dengan langkah-langkah berikutnya. Sekali lagi ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan kebijaksanaan memiliki tempat yang pertama dan utama.
Kedua hal tersebut belum cukup memuaskanku. Aku mencoba melacak lebih jauh kali ini dengan menggunakan penyelidikan pada bahasa yang mereka gunakan. Bahasa bisa dikatakan merupakan suatu konstruksi bagaimana suatu bangsa memandang dunianya. Dalam hal ini aku ingin melihat seberapa pentingnya kata ‘pengetahuan’ itu? Di sini aku memakai ‘A Dictionary English and Sanskrit’ (1851) dari M. Monier Williams. Aku ingin tahu berapa padanan kata untuk kata kerja ‘to know’ dan kata benda ‘knowledge’ dalam bahasa Sanskrta. Mengapa mengambil contoh dari bahasa Sanskrta? Alasannya ialah bahasa ini adalah bahasa India kuno yang menjadi dasar dari bahasa-bahasa India yang ada sekarang.
Apa yang aku dapatkan dari sampel kecil ini? Hasilnya cukup mengejutkan dan membenarkan dugaan awalku. Untuk verba ‘to know’ (mengetahui) ditemukan 28 padanan kata Sanskrta. Sedangkan untuk nomina ‘knowledge’ (pengetahuan) terdapat 81 padanan kata. Ini menandakan mereka begitu rigid dan terperinci dalam menjabarkan dan memaknai kata ‘pengetahuan’. Sekali lagi memperlihatkan bahwa pengetahuan adalah kunci dari peradaban mereka. Tidak itu saja, hal tersebut mereka wariskan dari generasi ke generasi selama ribuan tahun.
Dari sini kita dapat mengambil pelajaran berharga dari mereka. Kita tentu tahu, banyak hal-hal buruk dari orang India yang tentunya tidak perlu kita tiru. Namun ada hal positif yang perlu kita teladani pada diri mereka, yakni semangat dalam belajar atau obsesi terhadap pengetahuan yang luar biasa. Aku yakin bahwa bangsa kita tidak kalah pintar dari orang India, atau bangsa manapun di dunia ini. Yang perlu kita dorong adalah semangat untuk terus tekun belajar dan bekerja keras, karena kita sering terlena oleh berbagai kemudahan seperti kecerdasan serta karunia kekayaan alam yang Tuhan berikan kepada kita.
Filed under: Opini | 12 Comments »